“…….??”

Ini adalah kali pertama saya datang ke Desa ini, namanya Desa SOBA. Letaknya lumayan jauh dadi pusat Kota Kupang, sekitar 30 km. Hari itu Senin, 11 Mei 2015 saya bersama dengan salah satu teman kantor bernama Delfis, datang ke Desa Soba untuk pertama kalinya. Tujuan kami adalah berkunjung ke rumah salah satu mama yang pada akhir bulan April kemarin mengikuti pelatihan menjahit yang kami selenggarakan.

Namanya adalah Yuliana Kapitan. Perempuan berusia kurang lebih 47 tahun ini kebetulan adalah ketua kelompok menjahit yang ada di Desa tersebut. Meskipun sudah 3 tahun kelompok ini berada, tetapi ternyata mereka masih belum memiliki nama kelompok. Kedatangan kami berkunjung menemui mama Yuliana ini tentu bukan tanpa tujuan, kami bermaksud menindaklanjuti serta mengkonfirmasi kegiatan kelompok Soba ini pasca pelatihan menjahit,

Pada beberapa kilo awal perjalanan kami menuju Desa Soba, ada beberapa bayangan yang terlintas dalam pikiran saya. Pertama, saya berpikir Desa tersebut pastinya akan memberikan kesejukan yang luar biasa karena letaknya yang berada di atas bukit. Kedua, saya membayangkan lahan yang ada di Desa itu pastinya adalah lahan subur yang dipenuhi dengan hamparan kebun sayuran layaknya di kawasan pegunungan atau bukit. Kemudian yang ketiga, saya beranggapan masyarakat di Desa ini mungkin jauh lebih beruntung kehidupannya ketimbang di Desa Hueknutu, Kecamatan Takari yang menjadi wilayah dampingan kami juga.

Di separo perjalanan saya menuju Desa tersebut, ekspektasi pertama saya ternyata terjadi. Suasana desa dengan udara yang sejuk dan segar dan mata saya pun juga dimanjakan dengan gambaran alam yang sejuk dan rindang karena pohon-pohon besar dan tinggi masih banyak kami jumpai. Hal ini jelas memberikan obat tersendiri bagi kami, karena jelas suasana seperti ini tidak kami dapatkan ketika di Kota.

…………………….

Logika Tanpa Logistik Sama Dengan ‘Noe’

Hari Jumat, 08 Mei 2015 adalah kali pertama saya menginjakkan kaki ke Desa Oesau Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, NTT. Kedatangan saya ke Desa tersebut bukan tanpa tujuan tentunya. Maksud dan tujuan saya datang kesitu adalah untuk bertemu dengan kelompok penjahit yang ada di Desa tersebut.

Namanya adalah kelompok Esa Sue yang artinya “Satu Hati”. Kelompok ini adalah kelompok yang berisikan perempuan-perempuan penjahit berjumlah 21 orang. Esa sue diketuai oleh Mama Yosae yang kebetulan adalah istri dari Kepala Desa Oesau dan sekaligus sebagai ketua PKK Desa tersebut. Sebagai salah satu kelompok yang menjadi dampingan YSKK di program “Gerakan Pemberdayaan Perempuan Pengrajin Tenun di NTT”, pada akhir bulan April’15 yang lalu kelompok ini dilibatkan dalam salah satu pelatihan yang diselenggarakan YSKK. Pelatihan yang dimaksud adalah pelatihan pengembangan kualitas produk berbahan dasar  tenun di Desa Oesau.

Pada pelatihan itu, mama-mama penjahit ini diajari bagaimana cara menjahit lebih tepatnya menjahit produk jahitan dari bahan kain tenun yang dikombinasikan dengan kain lurik. Produk yang diajarkan adalah berupa dompet handphone, ipad case, tas srempang, dan tas belanja.

Untuk menindaklanjuti kebutuhan pasca pelatihan, saya bersama dengan staf marketing melakukan kunjungan untuk memastikan apakah mama-mama tetap berlatih menjahit produk agar hasilnya semakin bagus dan rapi. Selain itu kami juga memastikan apa yang mama-mama lakukan selain melanjutkan latihan menjahit produk.

Banyak hal yang menarik dari apa yang disampaikan oleh mama Yosae sebagai ketua kelompok. Diantaranya adalah bagaimana respon mama-mama anggota Esa Sue ketika mengikuti pelatihan selama 3 hari kala itu. “Waktu pelatihan itu fasilitatornya saja sampai bilang, mama-mama ini semangatnya luar biasa sekali ya ma. Beta juga sempat pikir juga, tumben ini dong (mereka) semangat sekali ikut pelatihan jahit ini, bahkan sampai itu makan siang su ada (sudah ada) di dong pung meja (meja mereka), tapi dong son pigi (mereka belum pergi) makan juga. Karena dong begitu semangat ikut pelatihan jahit ini”, ujar mama Yosae.

Hal yang menurut mereka sangat menarik dan sangat bermanfaat bagi kualitas kemampuan berkarya mereka yakni menjahit, ternyata mampu menggeser kebiasaan yang mereka lakukan dalam keseharian mereka. Konon, orang-orang asli Kupang memang tidak bisa dengan yang namanya telat makan alias mereka selalu tepat waktu makan. Selain itu mereka juga terbiasa makan dengan porsi yang bisa dibilang tidak sedikit. Mereka biasa makan nasi 2x lipat dari yang biasa kami (orang jawa) makan.

Dan tahukah anda, hal yang paling menarik dari pertemuan kami dengan mama Yosae ini? Adalah ketika kami menanyakan mengenai ada tidak catatan atau masukan atau evaluasi yang diberikan mama-mama untuk kami (YSKK) saat pelatihan kemarin. Sambil tertawa-tertawa kecil, mama Yosae mengatakan “hehee, sonde ada (tidak ada) kritikan atau evaluasi dari mama-mama kalau soal kegiatan kemarin. Cuma satu sa (Cuma satu saja) yang disampaikan mama-mama ke saya, yaitu soal makanan sa (saja). Dong (mereka) bilang hee mama Yos ni porsi makanan bagaimana ini? Kotong sonde bisa(kita tidak bisa) makan dengan porsi begini (sedikit), kotong biasa makan tambah lai (tambah lagi) nasinya. Dong juga bilang, kalau kotong Cuma makan segini sa, kotong bisa noe (kita bisa lemas) ini mama. Lauk satu sa cukup (lauknya satu saja cukup), tapi nasi kotong harus lebih banyak 2 porsi biasa kotong makan”. 

Sambil sedikit kaget, saya hanya bisa tertawa kecil dan bilang “ouuhh begitu ya?”. Dalam pikiran saya lantas terlintas pertanyaan, “atau jangan-jangan apa yang selama ini kebanyakan orang bilang bahwa logika tanpa logistik maka tidak akan jalan itu memang terinspirasi dari orang-orang di belahan pulau ini ya?? Hahahaa”. Dan sayapun akhirnya hanya tersenyum jahil sambil berkata dalam hati, yaa kalimat itu memang terjawab sudah oleh mama-mama yang luar biasa di Desa Oesau ini. Dalam versi orang kupang lebih tepatnya mungkin, “Logika tanpa logistik maka bikin ‘Noe’ sa (Logika tanpa logistik maka bikin lemas saja)”. 🙂

Kupang, 11 Mei 2015

Osh.